Terhitung mulai bulan April ini, tunjangan para hakim di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi naik secara ekstrim. Tak tanggung-tanggung kenaikannya mencapai angka 300% dari tunjangan semula. Kenaikan ini berdasarkan Perpres no 19 tahun 2008 tentang kinerja hakim dan pegawai negeri di lingkungan MA dan badan peradilan yang berada di bawahanya. Isinya meliputi tunjangan khusus untuk Ketua MA Rp 31,1 juta dan Wakil Ketua MA Rp 25,8 juta. Untuk Ketua Pengadilan Tinggi Rp 13 juta, hakim pengadilan tinggi Rp 10,2 juta dan terendah hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Kenaikan tunjangan tersebut belum termasuk gaji pokok.
Menggelikan atau malah ironis, itulah kata yang cocok menggambarkan kenaikan tunjangan hakim-hakim tersebut. Mengapa kenaikannya sebegitu fantastisnya hingga mencapai 300%? Tunjangan profesor pun yang notabene adalah tingkatan tertinggi dalam civitas akademika tak sampai mencapai sebanyak itu. Di saat rakyat menjerit kenaikan harga pangan terus menerus, hakim-hakim kita yang terhormat malah mendapat durian runtuh dengan kenaikan itu. Lantas, di benak kita muncul pertanyaan “Apakah hakim-hakim itu ‘mata duitan’ ya?”
Memang, alasan kenaikan itu adalah untuk meningkatkan kinerja hakim MA dan Pengadilan Tinggi. Dengan memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi, maka kasus suap dan korupsi di kalangan hakim dapat ditangkal. Namun, kebijakan seperti itu hanyalah akan menjadi bola salju saja yang efeknya tidak baik bagi lembaga peradilan. Efeknya akan menjadikan kalangan internal pejabat hukum berlomba-lomba naik pangkat agar mendapat fulus menggiurkan itu secara tidak sehat. Selain itu, akan timbul juga kecemburuan di kalangan departemen-departemen lain yang gaji pejabatnya lebih kecil.
Setali tiga uang. Kebijakan seperti ini sebenarnya juga hanya akan efektif untuk mencegah korupsi dan suap di level yang rendah yang tersangka koruptornya tegolong kelas teri. Kenaikan tunjangan tidak akan cukup untuk memberantas mafia peradilan yang sudah mengakar kuat di lembaga peradilan bahkan setingkat MA sendiri. Pasalnya, kasus korupsi yang ditangani MA atau Pengadilan Tinggi bernilai miliaran rupiah. Apa lantas gaji dan tunjangan hakim MA dinaikkan sampai miliaran rupiah? Jelas TIDAK. Berarti kebijakan menaikkan tunjangan bukanlah solusi nyata dalam reformasi birokrasi peradilan.
Walaupun seorang hakim bergaji tertinggi sekalipun, jika ada kasus bernilai miliaran rupiah tapi dia tidak memiliki kejujuran dan keadilan, maka bisa saja hakim tersebut disuap dan merekayasa kebenaran hukum dengan alibi yang dibuat-buat se-innocent nungkin. Akibatnya, koruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah terbebas dari jeratan hukum bahkan bisa pelesir di luar negeri. Akhirnya kembali pada pribadi masing-masing hakim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar